MAKALAH - OGOH-OGOH

by 06.56 1 komentar

BAB  I
PENDAHULUAN

1.1               Latar Belakang Masalah
Sehari sebelum hari raya Nyepi sebagai peringatan Tahun Baru Saka oleh umat Hindu, di Bali diadakan ucapara Tawur Kesanga. Prosesi upacara terdiri dari rangkaian pecaruan di masing-masing pewidangan (Banjar/Desa Pekraman). Yang waktunya dapat dilaksanakan pada siang hari sampai sandyakala yaitu saat perpaduan antara hari sore dengan hari malam. Pecaruan/Tawur Kesanga bertujuan untuk melakukan penyomian para bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci). Pada sandyakala atau sering disebut sandikala sebagai batas akhir pelaksanaan pecaruan, yang dirangkaikan dengan pelaksanaan kegiatan Meabu-abu yatiu kegiatan yang diyakini sebagai puncak keberhasilan dalam prosesi penyomiyan. Karenanya pada saat itu dilaksanakan upakara ngaturang blabaran atau segehan pada sanggah cucuk di masing-masing pelebuhan.

Puncak dari prosesi ngaturang blabaran ini adalah dengan membunyikan berbagai suara yang menimbulkan suara kegaduhan (dengan memukul kentongan, kaleng, ember, dll), disertai api obor dengan berkeliling pekarangan rumah atau desa. Tujuannya adalah agar para bhuta tidak lagi kembali ke lingkungan pedesaan.

Adanya prinsip Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan), menyebabkan prosesi pecaruan dilaksanakan sesuai desa mawa cara (sesuai dengat adat istiadat di desa masing-masing). Sepert halnya di Desa Sesetan, Desa Pedungan dan Desa Sidakrya Denpasar Selatan-Bali, biasanya upacara Me ubu-ubu dilanjutkan dengan tradisi arak-arakan obor keliling desa. Arak-arakan biasanya diramaikan dengan berbagai variasi tetabuhan kentongan dan gong sampai pagi. Demikian juga di desa-desa lain di Bali memvisualisasikan berbagai kegiatan yang berkonotasi sama yaitu dalam rangka penyomiaan kalangan bhuta.

Seluruh rangkaian kegiatan keramaian sebagai bagian upakara Meubu-ubu itu telah menggelitik inspirasi beberapa kreator di Bali, yaitu untuk menjadikannya ranah penuangan berbagai kreasi yang mempertajam pemaknaan dari berbagai kegiatan dan keramain yang di lakukan oleh masyarakat

Maka lahirlah kemudian kemeriahan thematis yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreatfitas seperti bebarongan, rangkaian pelaksanaan panca yadnya, pewayangan, dan lain-lain.

Kemeriahan kreasi tahunan inilah kemudian oleh para tokoh masyarakat dan seniman dijadikan momentum berkreasi. Yaitu bagaimana meramu berbagai unsur kegiatan ini agar tidak menjadi liar atau tanpa arah. Munculah kemudian berbagai kreasi berupa karya seni tiga dimensi, dengan berbagai bentuk patung, binatang, bebuthan, tokoh pewayangan, dan lain-lain. Kreasi ini selanjutnya dikenal dengan sebutan OGOH-OGOH.

Sekalipun ogoh-ogoh telah bermetafosis sejak lama, tetapi keberadaannya mulai marak sejak tahun 1990, yaitu ketika kegiatan PKB (Pesta Kesenian Bali) melombakan parade ogoh-ogoh dari perwakilan kabupaten/kota se Bali.
Sejak itu taksu ogoh-ogoh tumbuh dan berkembang sedemikian dasyatnya yang ditunjukkan oleh kerinduan masyarakat akan kehadirannya.

Taksu ogoh-ogoh yang sedemikian besar juga membawa ekses, yaitu munculnya wacana pro-kontra tentang keberadaan ogoh-ogoh. Di satu sisi memandang ogoh-ogoh sebagai bagian dari perkembangan kreatif yang tumbuh dari realitas budaya dan intuisi keseniman masyarakat Bali. Disisi lain memandang keberadaan ogoh-ogos sebagai salah satu sumber konflik sehingga kurang tepat diadakan pada saat pengerupukan.





1.2               Tujuan Penulisan
      Di susunnya makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi lebih dalam berkaitan dengan ogoh-ogoh serta nilai-nilai yang terkandung di dalam makalah ini. Selain itu makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran yaitu Budi Pekerti.

1.3               Rumusan Masalah
1.      Pengertian Singkat tentang Ogoh-ogoh
2.      Ogoh-ogoh sebagai perkembangan seni budaya Bali
3.      Makna dari Ogoh-ogoh
4.      Sejarah Ogoh-ogoh?
5.      Tujuan dan Manfaat Ogoh-ogoh
6.      Kekurangan dan Kelebihan Parade Ogoh-ogoh
7.     Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Makalah



BAB II
PEMBAHASAN



2.1           Pengertian singkat tentang Ogoh-ogoh
Sesuai dengan Paruman Bendesa Adat se Kota Denpasar tahun 2004/2005 menyatakan bahwa ogoh-ogoh tidak terkait dengan kegiatan agama/pengerupukan. Apalagi ogoh-ogoh itu di arak setelah upakara Me abu-abu. Maka logikanya tentu tidak ada kaitan dengan upaya penyomiyan bhuta.
Persepsi yang yang sama juga pernah terjadi terhadap kemunculan kesenian bebarongan pada jaman Dalem Waturenggong. Bebarongan sama sekali tidak dianggap berhubungan dengan sastra agama. Anggapan semacam itu juga menimbulkan pro-kontra tentang penyembahan terhadap Barong (bentuk binatang) atau Rangda (bentuk kejahatan).
Pada saat itu para tokoh menjelaskan pengertian bebarongan secara etimologi, Kata BARONG berasal dari barung—> bareng-bareng -- beriringan. Implementasinya kemudian adalah Barong menjadi sarana tari, Bebarungan pada gamelan, Bareng-bareng dalam kebersamaan, beriringan, saling mengikuti sesuai urutan. Rangkaian semua ini menjadi simbol persatuan yang menyemaikan kekuatan gaib yang di sebut TAKSU.

Taksu merupakan kekuatan yang tumbuh secara gaib yang secara mendasar memberi kekuatan magis terhadap berbagai hal yang diyakini mampu mempersatukan semua komponen massa. Jadi Taksu yang berlandaskan kreasi seni diyakini secara pasti akan kembali kepada keselamatan. Sedangkan Taksu yang berlandasakan bhuta dipastikan akan kembali ke kehancuran. Logikanya adalah konsep berkesenian pada dasarnya selalu berorientasi untuk membuat orang senang.

Karena itu bisa di katakan bahwa Barong dan Ogoh-Ogoh tumbuh karena Taksu dan keduanya sama-sama Produk seni. Yang membedakan kalau Barong di sakralkan dan di sungsung secara permanen sebagai saras. Sedangkan Ogoh-Ogoh adalah seni rupa yang berbentuk tiga dimensi yang diusung beramai-ramai dan ditarikan secara ogah-ogah (digoyang-goyangkan) yang sifatnya tidak permanen.

2.2       Ogoh-ogoh sebagai Perkembangan Seni Budaya Bali
Perkembangan ogoh-ogoh pada acara pengrupukan di Bali tidak lepas dari perkembangan suatu kesenian yang sarat dengan Taksu, yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa seni. Kreasinya berkembang sedemikian rupa dan beragam. Kreasi ogoh-ogoh berusaha divisualiasikan dalam berbagai bentuk , seperti bentuk Kala Bang, Kala Ireng dan bebuthan lainnya dan bentuk yang lebih kekinian seperti ogoh-ogoh pemabuk, cewek kafe genit,dll yang disimbulkan sebagai penggoda bagi mereka yang sedang melaksanakan Catur Brata Penyepian.
Dalam perkembangan yang begitu semarak akhir-akhir ini, sangatlah tepat apabila ogoh-ogoh itu diterima apa adanya sebagai sebuah Asset Budaya Bali. Adalah tidak adil apabila kehadiran ogoh-ogoh dipandang sebagai ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan hidup. Ogoh-ogoh tumbuh berkembang dari dalam diri masyarakat Bali itu sendiri yang sejak lahir sudah memiliki darah daging berkesenian.
Sebagai asset budaya ogoh-ogoh itu harus dikelola secara maksimal sehingga memberi nilai tambah terhadap perkembangan maupun pelestarian seni budaya itu sendiri.
Salah satu contoh upaya memaksimalkan keberadaan ogoh-ogoh adalah dalam bentuk dilombakan, dengan menetapkan kriteria tertentu yang benar dan jelas, niscaya akan didapatkan manfaat yang luar biasa, khususnya dibidang kreatif dalam rangka persatuan.
Kriteria yang disarankan adalah :
a.    Penampilan ogoh-ogoh harus mewakili tema yang ditetapkan. 
b.    Ada keserasian antara bentuk ogoh-ogoh, cerita, tari dan tabuhnya. 
c.    Sebelum di usung, ogoh-ogoh harus dibuatkan prosesi upacara, seperti prayascita atau pemlaspas dalam artian pembersihan ogoh-ogoh dari pengaruh negatif. 
d.   Pengusung harus melakukan persembahyangan untuk keselamatan semua. 
e.    Diberikan pengarahan dan pengawasan oleh para menggala atau tetua setempat agar menjaga ketertiban, tidak mabuk, tidak membunyikan petasan yang bukan tradisi Bali, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat memancing keributan. 
f.     Koordinasikan dengan pecalang desa pekraman maupun pihak keamanan (kepolisian) untuk menjaga keamanan dan ketertiban. 
g.    Ogoh-ogoh yang telah selesai diarak, harus dipralina (dileburkan)  untuk menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebelum prosesi pralina terhadap ogoh-ogoh agar dihaturkan sesajen berupa soda dan segehan manca warna serta segehan poleng yang diakhiri dengan memukul ogoh-ogoh itu sebanyak tiga kali agar swala mala yang masih melekat segera pergi ke tempatnya masing-masing. Pemrelinaan I ni dapat dilakukan dengan memercikkan tirtha suci yang dimohonkan di Pura masing-masing untuk selanjutnya di bakar. Pemrelina dapat juga dilakukan dengan melarung ke laut atau sungai, namun dalam rangka kebersihan lingkungan maka sebaiknya dibakar saja untuk kemudian abunya dilarung ke laut atau sungai.
Mengingat ogoh-ogoh lahir sebagai bagian dari darah daging masyarakat Bali serta dianugrahi Taksu, maka keberadaanya sudah semestinya dipertahankan dan dilestarikan. Dan untuk para tokoh, pemimpin masyarakat Bali, baik formal maupun non formal agar tetap menjaga, mengarahkan dan mengawasi perkembangan selebrasi ogoh-ogoh manakala dipawaikan.

2.3       Makna Ogoh-ogoh
Makna dari ogoh-ogoh adalah patung yang melambangkan Buta Kala diharapkan dapat menetralisir roh-roh jahat yang menguasai alam manusia antara kebaikan dan keburukan yang biasa juga disebut dengan "Balance of the World".
Prosesi Ogoh-Ogoh merupakan serangkaian dengan upacara Tawur Kesanga adalah sebuah ekspresi kreatif masyarakat Hindu Bali di dalam memaknai perayaan pergantian Tahun Caka. Masyarakat menciptakan Ogoh-Ogoh Bhutakala seperti : Kala Bang, Kala Ijo, Kala Dengen, Kala Lampah, Kala Ireng, dan banyak lagi bentuk-bentuk lainnya, sebagai perlambang sifat-sifat negatif yang harus dilebur agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Ogoh-Ogoh Bhutakala yang diciptakan kemudian dihaturkan sesaji “natab caru pabiakalan” sebuah ritual yang bermakna “nyomia”, mengembalikan sifat-sifat Bhutakala ke asalnya.
Ritual tersebut dilanjutkan dengan prosesi Ogoh-Ogoh, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama mengusung Ogoh-Ogoh mengelilingi jalan-jalan desa dan mengitari catus pata sebagai simbol siklus sakral perputaran waktu menuju ke pergantian tahun Caka yang baru. Setelah ritual dan prosesi Ngerupuk tersebut Ogoh-Ogoh Bhutakala itupun “di-prelina”, mengembalikan ke asalnya dengan dilebur atau dibakar.
Terkait dengan upacara Tawur Kesanga dan ritual Ngerupuk tersebut, prosesi Ogoh-Ogoh mengandung dua makna yaitu :
1.        Mengekspresikan nilai-nilai religius dan ruang-waktu sakral berdasarkan sastra-sastra agama
2.        Merupakan karya kreatif yang disalurkan melalui ekspresi keindahan dan kebersamaan.  
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar bekerjasama dengan Majelis Madya dan Parum Bendesa Desa Pakraman Denpasar, Listibiya Kota Denpasar, SKPD Kecamatan memfasilitasi tradisi kreatif masyarakat dengan melaksanakan Parade Ogoh-Ogoh Pangerupukan sekaligus menyambut Tahun Baru Saka 1934 dengan berpedoman kepada Buku Panduan Ogoh-Ogoh Pangerupukan Kota Denpasar Th. 2011. 
“Ogoh-ogoh”, begitu yang disebut oleh masyarakat Bali tentang simbolis dari raksasa jahat berbadan besar dengan rupa menyeramkan ini. Sebenarnya ogoh-ogoh punya satu fungsi pokok yang menjadi dasar penciptaannya yaitu pengusiran roh jahat di lingkungan alam semesta agar terbebas dari segala mara bahaya. Ogoh-ogoh tidak hanya disegani oleh kaula muda, dari anak kecil sampai orang dewasa pun tertarik pada ogoh-ogoh. Taukah anda, ogoh-ogoh punya sisi mistis tersendiri?. Di era sekarang, ogoh-ogoh lebih dominan di fungsikan untuk perlombaan karya seni yang menggali kreativitas anak muda di Bali atau sekedar untuk arak-arakan penghibur masyarakat sehingga seringkali fungsi magisnya tersingkirkan.

Penuturan singkat di dapat dari I Komang Wijaya, salah satu sekaa truna STT Dharma Sentana. Menurutnya, nyepi tanpa ogoh-ogoh tidaklah semarak dan meriah. Disamping itu ogoh-ogoh bisa menjadi media kreativitas anak muda sehingga aspirasi seninya tersalurkan dengan positif. “Jika ada saat-saat tertentu ogoh-ogoh tidak boleh dibuat karena suatu upacara besar umat hindu, sekaa truna disini akan mengikuti anjuran tersebut, karena kami membuat ogoh-ogoh bukan untuk ajang urak-urakan anak muda tapi memperhatikan juga etika dan fungsi religinya” tuturnya.

Jero Mangku atau sebut saja Pekak Mangku Jana yang sempat ditemui di Bakisan (masih termasuk areal Tabanan) menuturkan opininya mengenai perkembangan fungsi ogoh-ogoh di era sekarang. Menurutnya, ogoh-ogoh semestinya dikembalikan lagi ke fungsi dasarnya, seni dan kreativitas boleh-boleh saja dituangkan dalam ogoh-ogoh tapi tidak menghilangkan makna religinya. “Sebenarnya sebelum ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa, terlebih dahulu harus dilakukan upacara “pasupati”.

Pasupati itu sejenis upacara pemberkatan ogoh-ogoh yang sudah rampung dibuat agar memiliki kekuatan magis positif untuk mengusir roh jahat yang diistilahkan “Bhuta Kala”. Ogoh-ogoh yang telah rampung kemudian di arak ramai-ramai diiringi sekaa truni yang membawa obor di depannya.
Penghancuran ogoh-ogoh sendiri usai diarak juga bisa bermakna menghilangkan mala (dasa mala), panca baya dan leteh yang ada pada diri manusia. Masalahnya, saat ini ada dalam realita, pembuatan ogoh-ogoh dengan menggunakan bahan sintetik yang tak bisa dihancurkan oleh alam bisa menjadi pengingkaran konsep sakti yang sejati. 
Hal itu semakin menorehkan kesan bahwa ogoh-ogoh adalah simbolis diaraknya atau kalahnya roh jahat bhuta kala untuk kemudian di bakar di setra atau perempatan desa. Pembakaran ini mempunyai maksud dilebur dan dimusnahkannya roh bhuta kala baik di alam semesta dan yang terpenting pada diri sendiri. Sederhananya, arakan ogoh-ogoh bermakna menangnya “Dharma” melawan “Adharma”.

Di tengah sesi pembakaran, biasanya ada saja sekaa truna – truni yang tedun (kesurupan). Hal ini lumrah terjadi, karena roh bhuta kala yang kasat mata tersebut bisa saja merasuki jiwa setiap orang. Namun hal ini segera di atasi dengan pemberian tirta oleh pemangku setempat.
Namun akhir-akhir ini sering kali saya temui di beberapa daerah, ogoh-ogoh itu hanya di fungsikan untuk arak-arakan penglipur lara masyarakat serta ajang seru-seruan anak muda. Atau bahkan di pajang di pinggir jalan sebagai pameran. Hal ini boleh-boleh saja, tapi terkesan menghilangkan kesan magis ogoh-ogoh itu sendiri. Masyarakat hendaknya memperhatikan nilai magisnya. Ogoh-ogoh dicetuskan dengan suatu makna yang positif bagi alam semesta. Jadi masyarakat tak boleh salah pengertian, karena ogoh-ogoh disamping dilihat dari nilai estetikanya juga harus diperhatika fungsi atau makna mistis yang terselip di dalamnya.
Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam raya) dan Bhuana Alit (diri manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.



2.4            Sejarah Ogoh-ogoh
Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Nama Ogoh – ogoh itu sendiri diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dan tahun 1983 merupakan bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional. Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar.
Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Ogoh – Ogoh ini dimaksudkan mengembalikan bhutakala ketempat asalnya. Sebelumnya ada tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika,  bisa juga merujuk sebagai cikal bakal wujud ogoh-ogoh.
Di dalam babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.

2.5            Tujuan & Manfaat Ogoh-ogoh
Tujuan dan manfaat yang ingin di capai adalah :
·           Mendorong kreativitas masyarakat, khususnya Sekaa Teruna Teruni melalui seni ogoh-ogoh
·           Merayakan pergantian tahun Caka dengan tertib dan semangat kebersamaan
·           Menjadikan tradisi ogoh-ogoh sebagai salah satu ikon budaya unggulan Kota Denpasar.
·           Menjadikan tradisi ogoh-ogoh sebagai wujud aktivitas kreatif yang dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis
·           Meningkatkan kualitas penyelenggaraan lomba ogoh-ogoh sebagai aktrasi wisata sekaligus menunjang program pemerintah di dalam meningkatkan omset kepariwisataan di Bali

2.6              Kekurangan dan Kelebihan Parade Ogoh-ogoh adalah sebagai berikut :
·                    Jalanan yang biasa di adakannya parade sekali setahun ini akan menjadi jalanan yang di penuhi sampah, tetapi hal itu tak berjalan lama. Setelah acara ini selesai jalanan akan di bersihkan secara seksama oleh pekerja umum.
·                    Peserta ogoh-ogoh yang ratusan jumlahnya akan memenuhi jalanan protokol tersebut sekitar hamper 3-4 jam dan menunggu di mulainya acara ini dan mempertunjukan kreasi ogoh-ogoh mereka di depan pamitia. Hal itu sangat membosankan apalagi ditambah panasnya cuaca pada saat siang hari yang bias membakar kulit. Tetapi kelelahan serta kepenatan itu akan terbayar dengan mengarak ogoh-ogoh itu bersama kawan-kawan.
·                    Semua masyarakat bahkan wisatawan asing dan domestik tumpah ruah ke jalan protokol untuk menyaksikan parade sekali dalam setahun ini. Acara ini selalu menarik minat penonton. Ini terlihat di ramainya masyarakat yang hadir untuk menyaksikannya. Hal ini bias dijadikan promosi wisata untuk menarik minat wisatawa asing dan domestic demi kemajuan di bidang wisata daerah Bali.


2.7 Nilai-nilai yang Terkandung dalam Makalah
 











 
1.      Nilai Agama
Nilai agama yang terkandung dalam makalah ini adalah Dengan adanya hari raya Nyepi, Tawur Agung Kesanga yaitu bertujuan untuk menetralisir roh-roh jahat yang menguasai alam manusia antara kebaikan dan keburukan agar terbebas dari segala mara bahaya, melakukan penyomian para bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci) maka pada saat kita melakukan Catur Brata Penyepian yang terbagi menjadi 4 yaitu:
·      Amati Geni
Tidak menyalakan api selama hari Nyepi, dimana api yang dimaksudkan disini adalah sifat-sifat kroda manusia, seperti amarah. Brata amati geni disimbolkan dengan pemadaman lampu selama hari Nyepi. Hal ini patut ditaati dan dilestarikan sepanjang masa, namun tetap harus ada kebijaksanaan seperti adanya umat sakit, bayi atau yang berumur tua renta. Sedangkan penyalaan api untuk kepentingan pelaksanaan upacara pada Hari Raya Nyepi tetap boleh sampai batas sebelum matahari terbit.
·      Amati Lelanguan
Brata ini dimaksudkan bahwa pada hari Nyepi umat tidak boleh melaksanakan kegiatan yang berfoya-foya atau bersenang-senang. Hiburan selain membantu untuk menghilangkan kejenuhan secara tidak sadar akan membuat menjadi lupa diri dan terjerumus. Bila mampu umat sebaiknya melaksanakan puasa.
·      Amati Lelungan
Brata ini dimaksudkan bahwa pada hari Nyepi umat tidak boleh berpergian melainkan harus tetap diam di rumah. Ini untuk melatih pikiran kita agar tidak senantiasa liar tetapi selalu ingat ke dalam sebagai instropeksi diri.
·      Amati Karya
Brata ini dimaksudkan bahwa pada hari Nyepi umat tidak boleh melakukan pekerjaan, namun bukan berarti sama sekali tidak berkegiatan. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan adalah kegiatan yang bersifat judi yang harus dinetralisir dengan pengendalian pikiran.
Secara nyata catur brata penyepian ini tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap pelestarian lingkungan khususnya mengurangi dampak pemanasan global, walaupun hanya dalam skala kecil dan area yang sangat sempit, bisa dibayangkan bila seluruh dunia melaksanakan catur brata penyepian maka polusi udara akan berkurang. Dari segi psikologis tentunya juga sangat berguna karena dapat menghilangkan kejenuhan dari tugas-tugas rutin.



2.      Nilai Sosial
Nilai Sosial yang terkandung dalam makalah ini adalah Di tengah ekonomi masyarakat yang belum menggembirakan dewasa ini, tentu perlu ada hitung-hitungan cermat agar semuanya dapat dihemat dengan tidak mengurangi makna upacara. Sasarannya jelas, bagaimana biaya-biaya yang kurang penting itu ditekan, sehingga ogoh-ogoh yang dibuat tampil baik, indah dan menjadi kebanggaan krama banjar. Terpenting lagi, jangan sampai pembuatan ogoh-ogoh membuat generasi muda produktivitasnya menurun. Boleh saja berkreasi, tetapi jangan sampai suntuk di balai banjar membuat ogoh-ogoh sampai satu bulan dengan mengabaikan pekerjaan utama. Intinya, bagaimana ogoh-ogoh yang dibuat setahun sekali itu mampu memupuk rasa persaudaraan antaranggota banjar, sikap gotong royong dan kerja sama bertumbuh, makin memaknai kebersamaan dan tingkat spiritual lebih baik. Tentu sangat tidak diharapkan gara-gara ogoh-ogoh justru menimbulkan keributan dan ketegangan antaranggota masyarakat.

3.      Nilai Estetika
Nilai estetika dalam makalah ini adalah masyarakat menciptakan Ogoh-Ogoh dalam wujud Bhutakala seperti : Kala Bang, Kala Ijo, Kala Dengen, Kala Lampah, Kala Ireng, dan banyak lagi bentuk-bentuk lainnya, sebagai perlambang sifat-sifat negatif yang harus dilebur agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Selain itu nilai estetika juga muncul dari warna-warna yang cerah ataupun mencolok yang dapat memberikian kesan estetika yang tinggi pada ogoh-ogoh tersebut.

4.      Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan dalam makalah ini adalah aktivitas seni membuat ogoh ogoh mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dilihat sebagai suatu refleksi bagi masyarakat termasuk anak-anak. Terdapat pada cerita pewayangan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan, kebaikan, dan kejujuran. Ogoh-ogoh merupakan sebuah karya seni massal yang muncul karena adanya nilai kebersamaan. Dengan spontan mereka ingin memunculkan suatu karya seni. Terkesan ada rasa malu kalu mereka tidak membuat ogoh-ogoh, sementara anak-anak lain bias. Sutasoma dengan Dharmakepatutannya melakukan apapun dengan hati tulus ikhlas. Disitu jelas, ada ditumjukannya upaya memberikan pendidikan kepada anak-anak agar bias melakukan sesuatu dengan niat tulus ikhlas yang lebih mengutamakan dharma. Begitu pula dengan sifat-sifat kepahlawanan Kumbakarna yang bias di transfer kepada anak-anak. Dari kreativitas ogoh-ogoh ini, juga tampak nilai persatuan, kesatuan, kekompakan, dan social. Hal ini karena pada saat bekerja mereka menuangkan kreativitas dengan rasa kenbersamaan dan saling tolong menolong. Banyak orang yang mengatakan ogoh-ogoh sebagai sumber permusuhan. Tetapi hal itu tidak benar. Sesungguhnya yang membuat kerusuhan itu adalah segelintir oknumnya. Kehidupan masyarakat Hindhu di Bali tidak dapat dipisahkan dengan seni. Maka sangatlah tepat kalu anak-anak sudah di berikan pendidikan sejak dini. Dengan begitu, seni budaya Bali akan lebih meningkat. Kalau sejak kecil seseorang sudah bias berkreativitas seni seperti membuat ogoh-ogoh misalnya, setelah besar ia akan bias memberikan income bagi dirinya dan masyarakat di selilingnya.

5.      Nilai Budaya
Nilai Budaya dalam makalah ini adalah Hari raya Nyepi semarak dengan festifal ogoh-ogoh di Bali membawa daya tarik budaya yang sungguh sayang jika dilewatkan. Maka dari itu kita sebagai generasi muda harus mempertahankan budaya Bali. Jangan sampai ogoh-ogoh yang merupakan salah sau budaya Bali tergilas kebudayaan barat.
6.      Nilai Moral
Nilai Moral dalam makalah ini adalah Peristiwa Nyepi meletakkan dasar pendidikan moralitas agar dapat mengubah perilaku manusia. Dengan kejernihan jiwa, pribadi-pribadi umat di harapkan mampu membangun peradaban baru. Pada saat Nyepi umat hindhu mawas diri dan membangkitkan kesadaran baru untuk memaknai hidup yang lebih baik. Moratorium aktivitas selama sehari menciptakan keheningan yang memberikan kesempatan panjang untuk melakukan introspeksi, mengevaluasi diri apakah perilaku sepanjang tahun ini ada yang menyimpang dari sastra-sastra agama maupun tatanan kehidupan social-kemasyarakatan lainnya. Hasil renunganitu di harapkan memperbaiki kualitas hidup dengan menata perilaku kehidupan sehari-hari dengan menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesame manusia, dan lingkungan (Tri Hita Karana). Banyak yang di petik dari suasana seperti ini: tepa selira, penghematan, tetirah, kontemplasi, dan banyak hal yang bias dilakukan untuk menghimpun energy positif kita. Yang jelas, Nyepi selalu memberikan kesadaran baru dan semoga pemaknaannya menghadirkan spirit baru unuk kehidupan yang lebih damai.


  
BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan
Ogoh-ogoh merupakan salah satu ciri khas dari rangkaian pelaksanaan perayaan Tahun Baru Caka yang kita kenal dengan Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh umunya dibuat dengan muka seram, mata besar melotot sebagai lambang/simbolis  buta kala.
Ogoh-ogoh akan diarak keliling desa pada malam pengerupukan, dimana tepat pada tengah hari sebelumnya sudah dilaksanakan upacara pecaruan yang disebut tawur agung/tawur kesanga yang bertujuan untuk membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (buta somya). Setelah diupacari dengan upacara buta yadnya pecaruan tersebut, buta kala yang disimbolkan dengan Ogoh-ogoh ini kemudian diarak keliling desa disertai dengan berbagai bunyi-bunyian seperti kentongan, bom khas bali yang disebut plug-plugan, mercon, kembang api dan lainnya yang selanjutnya berakhir pada kuburan setempat untuk dibakar yang secara secara simbolis buta kala ini agar kembali ke alamnya masing masing dan tidak mengganggu manusia sehingga kehidupan harmonis antara manusia dengan alam dan ciptaannya terwujud.
Ogoh-ogoh pada umumnya dibuat untuk simbolis buta kala, seperti raksasa, leak, celuluk dengan tampangnya yang seram, mata melotot besar, dengan taring yang panjang. Tetapi kreativitas orang bali membuat tampang ogoh-ogoh dari tahun ke tahun semakin beragam dan makin bagus tentunya.
  
3.2 Saran
Belakangan ini mulai terlihat berbagai tema ogoh-ogoh yang mulai berubah akibat perkembangan zaman. Dulu ogoh-ogoh dibuat seram dan bernuansa mistik dengan bhuta kala sebagai symbol unsur kejahatan dan keburukan. Namun beberapa tahun belakangan ini bentuk ogoh-ogoh dibuat sebagai bahan hiburan semata tanpa unsur filosofi. Diharapkan kesadaran masyarakat khususnya para generasi muda untuk mengetahui makna ogoh-ogoh dan posisinya dalam agama Hindu serta dapat mempertahankan budaya Bali. Jangan sampai ogoh-ogoh yang merupakan salah satu budaya Bali tergilas kebudayaan dunia barat.




DAFTAR PUSTAKA





Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

1 komentar: