BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sehari sebelum hari
raya Nyepi sebagai peringatan Tahun Baru Saka oleh umat Hindu, di Bali diadakan
ucapara Tawur Kesanga. Prosesi upacara terdiri dari rangkaian pecaruan di
masing-masing pewidangan (Banjar/Desa Pekraman). Yang waktunya dapat
dilaksanakan pada siang hari sampai sandyakala yaitu saat perpaduan antara hari
sore dengan hari malam. Pecaruan/Tawur Kesanga bertujuan untuk melakukan
penyomian para bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci). Pada sandyakala
atau sering disebut sandikala sebagai batas akhir pelaksanaan pecaruan, yang
dirangkaikan dengan pelaksanaan kegiatan Meabu-abu yatiu kegiatan yang diyakini
sebagai puncak keberhasilan dalam prosesi penyomiyan. Karenanya pada saat itu
dilaksanakan upakara ngaturang blabaran atau segehan pada sanggah cucuk di
masing-masing pelebuhan.
Puncak dari prosesi
ngaturang blabaran ini adalah dengan membunyikan berbagai suara yang
menimbulkan suara kegaduhan (dengan memukul kentongan, kaleng, ember, dll),
disertai api obor dengan berkeliling pekarangan rumah atau desa. Tujuannya
adalah agar para bhuta tidak lagi kembali ke lingkungan pedesaan.
Adanya prinsip Desa
(tempat), Kala (waktu) dan Patra (keadaan), menyebabkan prosesi pecaruan
dilaksanakan sesuai desa mawa cara (sesuai dengat adat istiadat di desa
masing-masing). Sepert halnya di Desa Sesetan, Desa Pedungan dan Desa Sidakrya
Denpasar Selatan-Bali, biasanya upacara Me ubu-ubu dilanjutkan dengan tradisi
arak-arakan obor keliling desa. Arak-arakan biasanya diramaikan dengan berbagai
variasi tetabuhan kentongan dan gong sampai pagi. Demikian juga di desa-desa
lain di Bali memvisualisasikan berbagai kegiatan yang berkonotasi sama yaitu
dalam rangka penyomiaan kalangan bhuta.
Seluruh rangkaian kegiatan
keramaian sebagai bagian upakara Meubu-ubu itu telah menggelitik inspirasi
beberapa kreator di Bali, yaitu untuk menjadikannya ranah penuangan berbagai
kreasi yang mempertajam pemaknaan dari berbagai kegiatan dan keramain yang di
lakukan oleh masyarakat
Maka lahirlah kemudian
kemeriahan thematis yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kreatfitas seperti
bebarongan, rangkaian pelaksanaan panca yadnya, pewayangan, dan lain-lain.
Kemeriahan kreasi
tahunan inilah kemudian oleh para tokoh masyarakat dan seniman dijadikan
momentum berkreasi. Yaitu bagaimana meramu berbagai unsur kegiatan ini agar
tidak menjadi liar atau tanpa arah. Munculah kemudian berbagai kreasi berupa
karya seni tiga dimensi, dengan berbagai bentuk patung, binatang, bebuthan,
tokoh pewayangan, dan lain-lain. Kreasi ini selanjutnya dikenal dengan
sebutan OGOH-OGOH.
Sekalipun ogoh-ogoh
telah bermetafosis sejak lama, tetapi keberadaannya mulai marak sejak tahun
1990, yaitu ketika kegiatan PKB (Pesta Kesenian Bali) melombakan parade
ogoh-ogoh dari perwakilan kabupaten/kota se Bali.
Sejak itu taksu
ogoh-ogoh tumbuh dan berkembang sedemikian dasyatnya yang ditunjukkan oleh
kerinduan masyarakat akan kehadirannya.
Taksu ogoh-ogoh yang
sedemikian besar juga membawa ekses, yaitu munculnya wacana pro-kontra tentang
keberadaan ogoh-ogoh. Di satu sisi memandang ogoh-ogoh sebagai bagian dari
perkembangan kreatif yang tumbuh dari realitas budaya dan intuisi keseniman
masyarakat Bali. Disisi lain memandang keberadaan ogoh-ogos sebagai salah satu
sumber konflik sehingga kurang tepat diadakan pada saat pengerupukan.
1.2
Tujuan Penulisan
Di susunnya makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi
lebih dalam berkaitan dengan ogoh-ogoh serta nilai-nilai yang terkandung di
dalam makalah ini. Selain itu makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi
salah satu tugas mata pelajaran yaitu Budi Pekerti.
1.3
Rumusan Masalah
1. Pengertian
Singkat tentang Ogoh-ogoh
2. Ogoh-ogoh
sebagai perkembangan seni budaya Bali
3. Makna
dari Ogoh-ogoh
4. Sejarah
Ogoh-ogoh?
5. Tujuan
dan Manfaat Ogoh-ogoh
6. Kekurangan
dan Kelebihan Parade Ogoh-ogoh
7. Nilai-Nilai
yang Terkandung dalam Makalah
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian singkat tentang Ogoh-ogoh
Sesuai dengan Paruman Bendesa Adat se Kota Denpasar
tahun 2004/2005 menyatakan bahwa ogoh-ogoh tidak terkait dengan kegiatan
agama/pengerupukan. Apalagi ogoh-ogoh itu di arak setelah upakara Me abu-abu.
Maka logikanya tentu tidak ada kaitan dengan upaya penyomiyan bhuta.
Persepsi yang yang sama juga pernah terjadi terhadap
kemunculan kesenian bebarongan pada jaman Dalem Waturenggong. Bebarongan sama
sekali tidak dianggap berhubungan dengan sastra agama. Anggapan semacam itu
juga menimbulkan pro-kontra tentang penyembahan terhadap Barong (bentuk
binatang) atau Rangda (bentuk kejahatan).
Pada saat itu para tokoh menjelaskan pengertian
bebarongan secara etimologi, Kata BARONG berasal dari barung—> bareng-bareng
-- beriringan. Implementasinya kemudian adalah Barong menjadi sarana tari,
Bebarungan pada gamelan, Bareng-bareng dalam kebersamaan, beriringan, saling
mengikuti sesuai urutan. Rangkaian semua ini menjadi simbol persatuan yang
menyemaikan kekuatan gaib yang di sebut TAKSU.
Taksu merupakan kekuatan yang tumbuh secara gaib
yang secara mendasar memberi kekuatan magis terhadap berbagai hal yang diyakini
mampu mempersatukan semua komponen massa. Jadi Taksu yang berlandaskan kreasi
seni diyakini secara pasti akan kembali kepada keselamatan. Sedangkan Taksu
yang berlandasakan bhuta dipastikan akan kembali ke kehancuran. Logikanya
adalah konsep berkesenian pada dasarnya selalu berorientasi untuk membuat orang
senang.
Karena itu bisa di katakan bahwa Barong dan
Ogoh-Ogoh tumbuh karena Taksu dan keduanya sama-sama Produk seni. Yang
membedakan kalau Barong di sakralkan dan di sungsung secara permanen sebagai
saras. Sedangkan Ogoh-Ogoh adalah
seni rupa yang berbentuk tiga dimensi yang diusung beramai-ramai dan ditarikan
secara ogah-ogah (digoyang-goyangkan) yang sifatnya tidak permanen.
2.2 Ogoh-ogoh
sebagai Perkembangan Seni Budaya Bali
Perkembangan ogoh-ogoh pada acara pengrupukan di Bali tidak lepas
dari perkembangan suatu kesenian yang sarat dengan Taksu, yang bertujuan untuk
mengungkapkan rasa seni. Kreasinya berkembang sedemikian rupa dan beragam.
Kreasi ogoh-ogoh berusaha divisualiasikan dalam berbagai bentuk , seperti
bentuk Kala Bang, Kala Ireng dan bebuthan lainnya dan bentuk yang lebih
kekinian seperti ogoh-ogoh pemabuk, cewek kafe genit,dll yang disimbulkan
sebagai penggoda bagi mereka yang sedang melaksanakan Catur Brata Penyepian.
Dalam perkembangan yang begitu semarak akhir-akhir ini, sangatlah
tepat apabila ogoh-ogoh itu diterima apa adanya sebagai sebuah Asset Budaya
Bali. Adalah tidak adil apabila kehadiran ogoh-ogoh dipandang sebagai ancaman
terhadap keamanan dan kenyamanan hidup. Ogoh-ogoh tumbuh berkembang dari dalam
diri masyarakat Bali itu sendiri yang sejak lahir sudah memiliki darah daging
berkesenian.
Sebagai asset budaya ogoh-ogoh itu harus dikelola secara maksimal
sehingga memberi nilai tambah terhadap perkembangan maupun pelestarian seni
budaya itu sendiri.
Salah satu contoh upaya memaksimalkan keberadaan ogoh-ogoh adalah
dalam bentuk dilombakan, dengan menetapkan kriteria tertentu yang benar dan
jelas, niscaya akan didapatkan manfaat yang luar biasa, khususnya dibidang
kreatif dalam rangka persatuan.
Kriteria yang disarankan adalah :
a. Penampilan ogoh-ogoh
harus mewakili tema yang ditetapkan.
b. Ada keserasian antara
bentuk ogoh-ogoh, cerita, tari dan tabuhnya.
c. Sebelum di usung,
ogoh-ogoh harus dibuatkan prosesi upacara, seperti prayascita atau pemlaspas
dalam artian pembersihan ogoh-ogoh dari pengaruh negatif.
d. Pengusung harus
melakukan persembahyangan untuk keselamatan semua.
e. Diberikan pengarahan dan
pengawasan oleh para menggala atau tetua setempat agar menjaga ketertiban,
tidak mabuk, tidak membunyikan petasan yang bukan tradisi Bali, dan tidak
melakukan hal-hal yang dapat memancing keributan.
f. Koordinasikan dengan
pecalang desa pekraman maupun pihak keamanan (kepolisian) untuk menjaga
keamanan dan ketertiban.
g. Ogoh-ogoh yang telah
selesai diarak, harus dipralina (dileburkan)
untuk menghilangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Sebelum prosesi
pralina terhadap ogoh-ogoh agar dihaturkan sesajen berupa soda dan segehan
manca warna serta segehan poleng yang diakhiri dengan memukul ogoh-ogoh itu
sebanyak tiga kali agar swala mala yang masih melekat segera pergi ke tempatnya
masing-masing. Pemrelinaan I ni dapat dilakukan dengan memercikkan tirtha suci
yang dimohonkan di Pura masing-masing untuk selanjutnya di bakar. Pemrelina
dapat juga dilakukan dengan melarung ke laut atau sungai, namun dalam rangka
kebersihan lingkungan maka sebaiknya dibakar saja untuk kemudian abunya
dilarung ke laut atau sungai.
Mengingat ogoh-ogoh lahir sebagai bagian dari darah daging
masyarakat Bali serta dianugrahi Taksu, maka keberadaanya sudah semestinya
dipertahankan dan dilestarikan. Dan untuk para tokoh, pemimpin masyarakat Bali,
baik formal maupun non formal agar tetap menjaga, mengarahkan dan mengawasi
perkembangan selebrasi ogoh-ogoh manakala dipawaikan.
2.3 Makna
Ogoh-ogoh
Makna dari ogoh-ogoh adalah patung
yang melambangkan Buta Kala diharapkan dapat menetralisir roh-roh jahat yang
menguasai alam manusia antara kebaikan dan keburukan yang biasa juga disebut
dengan "Balance of the World".
Prosesi Ogoh-Ogoh merupakan serangkaian dengan
upacara Tawur Kesanga adalah sebuah ekspresi kreatif masyarakat Hindu Bali di
dalam memaknai perayaan pergantian Tahun Caka. Masyarakat menciptakan Ogoh-Ogoh
Bhutakala seperti : Kala Bang, Kala Ijo, Kala Dengen, Kala Lampah, Kala Ireng,
dan banyak lagi bentuk-bentuk lainnya, sebagai perlambang sifat-sifat negatif
yang harus dilebur agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Ogoh-Ogoh Bhutakala
yang diciptakan kemudian dihaturkan sesaji “natab caru pabiakalan” sebuah
ritual yang bermakna “nyomia”, mengembalikan sifat-sifat Bhutakala ke asalnya.
Ritual tersebut dilanjutkan dengan prosesi
Ogoh-Ogoh, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama mengusung Ogoh-Ogoh
mengelilingi jalan-jalan desa dan mengitari catus pata sebagai simbol siklus
sakral perputaran waktu menuju ke pergantian tahun Caka yang baru. Setelah
ritual dan prosesi Ngerupuk tersebut Ogoh-Ogoh Bhutakala itupun “di-prelina”,
mengembalikan ke asalnya dengan dilebur atau dibakar.
Terkait dengan upacara Tawur Kesanga dan ritual
Ngerupuk tersebut, prosesi Ogoh-Ogoh mengandung dua makna yaitu :
1.
Mengekspresikan nilai-nilai religius dan
ruang-waktu sakral berdasarkan sastra-sastra agama
2.
Merupakan karya kreatif yang disalurkan
melalui ekspresi keindahan dan kebersamaan.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut di atas
Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Kebudayaan Kota Denpasar bekerjasama
dengan Majelis Madya dan Parum Bendesa Desa Pakraman Denpasar, Listibiya Kota
Denpasar, SKPD Kecamatan memfasilitasi tradisi kreatif masyarakat dengan
melaksanakan Parade Ogoh-Ogoh Pangerupukan sekaligus menyambut Tahun Baru Saka
1934 dengan berpedoman kepada Buku Panduan Ogoh-Ogoh Pangerupukan Kota Denpasar
Th. 2011.
“Ogoh-ogoh”, begitu
yang disebut oleh masyarakat Bali tentang simbolis dari raksasa jahat berbadan
besar dengan rupa menyeramkan ini. Sebenarnya ogoh-ogoh punya satu fungsi pokok
yang menjadi dasar penciptaannya yaitu pengusiran roh jahat di lingkungan alam
semesta agar terbebas dari segala mara bahaya. Ogoh-ogoh tidak hanya disegani
oleh kaula muda, dari anak kecil sampai orang dewasa pun tertarik pada
ogoh-ogoh. Taukah anda, ogoh-ogoh punya sisi mistis tersendiri?. Di era
sekarang, ogoh-ogoh lebih dominan di fungsikan untuk perlombaan karya seni yang
menggali kreativitas anak muda di Bali atau sekedar untuk arak-arakan penghibur
masyarakat sehingga seringkali fungsi magisnya tersingkirkan.
Penuturan
singkat di dapat dari I Komang Wijaya, salah satu sekaa truna STT Dharma
Sentana. Menurutnya, nyepi tanpa ogoh-ogoh tidaklah semarak dan meriah.
Disamping itu ogoh-ogoh bisa menjadi media kreativitas anak muda sehingga
aspirasi seninya tersalurkan dengan positif. “Jika ada saat-saat tertentu
ogoh-ogoh tidak boleh dibuat karena suatu upacara besar umat hindu, sekaa truna
disini akan mengikuti anjuran tersebut, karena kami membuat ogoh-ogoh bukan
untuk ajang urak-urakan anak muda tapi memperhatikan juga etika dan fungsi
religinya” tuturnya.
Jero
Mangku atau sebut saja Pekak Mangku Jana yang sempat ditemui di Bakisan (masih
termasuk areal Tabanan) menuturkan opininya mengenai perkembangan fungsi
ogoh-ogoh di era sekarang. Menurutnya, ogoh-ogoh semestinya dikembalikan lagi
ke fungsi dasarnya, seni dan kreativitas boleh-boleh saja dituangkan dalam
ogoh-ogoh tapi tidak menghilangkan makna religinya. “Sebenarnya sebelum
ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa, terlebih dahulu harus dilakukan upacara
“pasupati”.
Pasupati
itu sejenis upacara pemberkatan ogoh-ogoh yang sudah rampung dibuat agar
memiliki kekuatan magis positif untuk mengusir roh jahat yang diistilahkan
“Bhuta Kala”. Ogoh-ogoh yang telah rampung kemudian di arak ramai-ramai
diiringi sekaa truni yang membawa obor di depannya.
Penghancuran
ogoh-ogoh sendiri usai diarak juga bisa bermakna menghilangkan mala (dasa
mala), panca baya dan leteh yang ada pada diri manusia. Masalahnya, saat ini
ada dalam realita, pembuatan ogoh-ogoh dengan menggunakan bahan sintetik yang
tak bisa dihancurkan oleh alam bisa menjadi pengingkaran konsep sakti yang
sejati.
Hal
itu semakin menorehkan kesan bahwa ogoh-ogoh adalah simbolis diaraknya atau
kalahnya roh jahat bhuta kala untuk kemudian di bakar di setra atau perempatan
desa. Pembakaran ini mempunyai maksud dilebur dan dimusnahkannya roh bhuta kala
baik di alam semesta dan yang terpenting pada diri sendiri. Sederhananya,
arakan ogoh-ogoh bermakna menangnya “Dharma” melawan “Adharma”.
Di
tengah sesi pembakaran, biasanya ada saja sekaa truna – truni yang tedun
(kesurupan). Hal ini lumrah terjadi, karena roh bhuta kala yang kasat mata
tersebut bisa saja merasuki jiwa setiap orang. Namun hal ini segera di atasi
dengan pemberian tirta oleh pemangku setempat.
Namun akhir-akhir ini sering kali saya temui di beberapa daerah, ogoh-ogoh itu hanya di fungsikan untuk arak-arakan penglipur lara masyarakat serta ajang seru-seruan anak muda. Atau bahkan di pajang di pinggir jalan sebagai pameran. Hal ini boleh-boleh saja, tapi terkesan menghilangkan kesan magis ogoh-ogoh itu sendiri. Masyarakat hendaknya memperhatikan nilai magisnya. Ogoh-ogoh dicetuskan dengan suatu makna yang positif bagi alam semesta. Jadi masyarakat tak boleh salah pengertian, karena ogoh-ogoh disamping dilihat dari nilai estetikanya juga harus diperhatika fungsi atau makna mistis yang terselip di dalamnya.
Namun akhir-akhir ini sering kali saya temui di beberapa daerah, ogoh-ogoh itu hanya di fungsikan untuk arak-arakan penglipur lara masyarakat serta ajang seru-seruan anak muda. Atau bahkan di pajang di pinggir jalan sebagai pameran. Hal ini boleh-boleh saja, tapi terkesan menghilangkan kesan magis ogoh-ogoh itu sendiri. Masyarakat hendaknya memperhatikan nilai magisnya. Ogoh-ogoh dicetuskan dengan suatu makna yang positif bagi alam semesta. Jadi masyarakat tak boleh salah pengertian, karena ogoh-ogoh disamping dilihat dari nilai estetikanya juga harus diperhatika fungsi atau makna mistis yang terselip di dalamnya.
Menurut
para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma, proses ini melambangkan keinsyafan
manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan
tersebut meliputi kekuatan Bhuana Agung (alam
raya) dan Bhuana
Alit (diri
manusia). Dalam pandangan Tattwa (filsafat), kekuatan ini dapat mengantarkan
makhluk hidup, khususnya manusia dan seluruh dunia menuju kebahagiaan atau
kehancuran. Semua ini tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan
yang paling mulia dalam menjaga dirinya sendiri dan seisi dunia.
2.4
Sejarah Ogoh-ogoh
Bhuta
Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang
tak terukur dan tak terbantahkan. Nama
Ogoh – ogoh itu sendiri diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali.
Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dan tahun 1983 merupakan bagian
penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat
wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. Ketika itu ada
keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional. Semenjak
itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut
ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar.
Budaya baru ini semakin
menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Ogoh –
Ogoh ini dimaksudkan mengembalikan bhutakala ketempat asalnya. Sebelumnya ada
tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang
menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, bisa juga merujuk sebagai cikal bakal
wujud ogoh-ogoh.
Di dalam babad, tradisi
Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri
Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak
dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam
sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai
cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.
2.5
Tujuan & Manfaat Ogoh-ogoh
Tujuan
dan manfaat yang ingin di capai adalah :
·
Mendorong kreativitas masyarakat,
khususnya Sekaa Teruna Teruni melalui seni ogoh-ogoh
·
Merayakan pergantian tahun Caka dengan
tertib dan semangat kebersamaan
·
Menjadikan tradisi ogoh-ogoh sebagai
salah satu ikon budaya unggulan Kota Denpasar.
·
Menjadikan tradisi ogoh-ogoh sebagai
wujud aktivitas kreatif yang dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis
·
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan
lomba ogoh-ogoh sebagai aktrasi wisata sekaligus menunjang program pemerintah
di dalam meningkatkan omset kepariwisataan di Bali
2.6
Kekurangan dan Kelebihan Parade
Ogoh-ogoh adalah sebagai berikut :
·
Jalanan yang biasa di adakannya parade
sekali setahun ini akan menjadi jalanan yang di penuhi sampah, tetapi hal itu
tak berjalan lama. Setelah acara ini selesai jalanan akan di bersihkan secara
seksama oleh pekerja umum.
·
Peserta ogoh-ogoh yang ratusan jumlahnya
akan memenuhi jalanan protokol tersebut sekitar hamper 3-4 jam dan menunggu di
mulainya acara ini dan mempertunjukan kreasi ogoh-ogoh mereka di depan pamitia.
Hal itu sangat membosankan apalagi ditambah panasnya cuaca pada saat siang hari
yang bias membakar kulit. Tetapi kelelahan serta kepenatan itu akan terbayar
dengan mengarak ogoh-ogoh itu bersama kawan-kawan.
·
Semua masyarakat bahkan wisatawan asing
dan domestik tumpah ruah ke jalan protokol untuk menyaksikan parade sekali
dalam setahun ini. Acara ini selalu menarik minat penonton. Ini terlihat di
ramainya masyarakat yang hadir untuk menyaksikannya. Hal ini bias dijadikan
promosi wisata untuk menarik minat wisatawa asing dan domestic demi kemajuan di
bidang wisata daerah Bali.
2.7
Nilai-nilai yang Terkandung dalam Makalah
1. Nilai
Agama
Nilai agama yang terkandung dalam
makalah ini adalah Dengan adanya hari raya Nyepi, Tawur Agung Kesanga yaitu bertujuan
untuk menetralisir roh-roh jahat yang menguasai alam manusia antara kebaikan
dan keburukan agar terbebas dari segala mara bahaya, melakukan penyomian para
bhuta (kegelapan) menjadi dewa (sinar suci) maka pada saat kita melakukan Catur
Brata Penyepian yang terbagi menjadi 4 yaitu:
· Amati
Geni
Tidak menyalakan api selama hari Nyepi, dimana api yang
dimaksudkan disini adalah sifat-sifat kroda manusia, seperti amarah. Brata
amati geni disimbolkan dengan pemadaman lampu selama hari Nyepi. Hal ini patut
ditaati dan dilestarikan sepanjang masa, namun tetap harus ada kebijaksanaan
seperti adanya umat sakit, bayi atau yang berumur tua renta. Sedangkan penyalaan
api untuk kepentingan pelaksanaan upacara pada Hari Raya Nyepi tetap boleh
sampai batas sebelum matahari terbit.
·
Amati
Lelanguan
Brata ini dimaksudkan bahwa pada hari Nyepi umat tidak boleh
melaksanakan kegiatan yang berfoya-foya atau bersenang-senang. Hiburan selain
membantu untuk menghilangkan kejenuhan secara tidak sadar akan membuat menjadi
lupa diri dan terjerumus. Bila mampu umat sebaiknya melaksanakan puasa.
· Amati Lelungan
Brata ini dimaksudkan bahwa pada hari Nyepi umat tidak boleh
berpergian melainkan harus tetap diam di rumah. Ini untuk melatih pikiran kita
agar tidak senantiasa liar tetapi selalu ingat ke dalam sebagai instropeksi
diri.
· Amati Karya
Brata ini dimaksudkan bahwa pada hari Nyepi
umat tidak boleh melakukan pekerjaan, namun bukan berarti sama sekali tidak
berkegiatan. Kegiatan yang tidak boleh dilakukan adalah kegiatan yang bersifat
judi yang harus dinetralisir dengan pengendalian pikiran.
Secara nyata catur brata
penyepian ini tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap pelestarian
lingkungan khususnya mengurangi dampak pemanasan global, walaupun hanya dalam
skala kecil dan area yang sangat sempit, bisa dibayangkan bila seluruh dunia
melaksanakan catur brata penyepian maka polusi udara akan berkurang. Dari segi
psikologis tentunya juga sangat berguna karena dapat menghilangkan kejenuhan
dari tugas-tugas rutin.
2. Nilai
Sosial
Nilai Sosial yang terkandung dalam makalah ini
adalah Di tengah ekonomi masyarakat
yang belum menggembirakan dewasa ini, tentu perlu ada hitung-hitungan cermat
agar semuanya dapat dihemat dengan tidak mengurangi makna upacara. Sasarannya
jelas, bagaimana biaya-biaya yang kurang penting itu ditekan, sehingga
ogoh-ogoh yang dibuat tampil baik, indah dan menjadi kebanggaan krama banjar.
Terpenting lagi, jangan sampai pembuatan ogoh-ogoh membuat generasi muda
produktivitasnya menurun. Boleh saja berkreasi, tetapi jangan sampai suntuk di
balai banjar membuat ogoh-ogoh sampai satu bulan dengan mengabaikan pekerjaan
utama. Intinya, bagaimana ogoh-ogoh yang dibuat setahun sekali itu mampu
memupuk rasa persaudaraan antaranggota banjar, sikap gotong royong dan kerja
sama bertumbuh, makin memaknai kebersamaan dan tingkat spiritual lebih baik.
Tentu sangat tidak diharapkan gara-gara ogoh-ogoh justru menimbulkan keributan
dan ketegangan antaranggota masyarakat.
3. Nilai
Estetika
Nilai estetika dalam makalah ini adalah masyarakat
menciptakan Ogoh-Ogoh dalam wujud Bhutakala seperti : Kala Bang, Kala Ijo, Kala
Dengen, Kala Lampah, Kala Ireng, dan banyak lagi bentuk-bentuk lainnya, sebagai
perlambang sifat-sifat negatif yang harus dilebur agar tidak mengganggu
kehidupan manusia. Selain itu nilai estetika juga muncul dari warna-warna yang
cerah ataupun mencolok yang dapat memberikian kesan estetika yang tinggi pada
ogoh-ogoh tersebut.
4. Nilai
Pendidikan
Nilai pendidikan dalam makalah ini adalah aktivitas
seni membuat ogoh ogoh mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dilihat
sebagai suatu refleksi bagi masyarakat termasuk anak-anak. Terdapat pada cerita
pewayangan yang di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan, kebaikan, dan
kejujuran. Ogoh-ogoh merupakan sebuah karya seni massal yang muncul karena
adanya nilai kebersamaan. Dengan spontan mereka ingin memunculkan suatu karya
seni. Terkesan ada rasa malu kalu mereka tidak membuat ogoh-ogoh, sementara
anak-anak lain bias. Sutasoma dengan Dharmakepatutannya melakukan apapun dengan
hati tulus ikhlas. Disitu jelas, ada ditumjukannya upaya memberikan pendidikan
kepada anak-anak agar bias melakukan sesuatu dengan niat tulus ikhlas yang
lebih mengutamakan dharma. Begitu pula dengan sifat-sifat kepahlawanan
Kumbakarna yang bias di transfer kepada anak-anak. Dari kreativitas ogoh-ogoh
ini, juga tampak nilai persatuan, kesatuan, kekompakan, dan social. Hal ini
karena pada saat bekerja mereka menuangkan kreativitas dengan rasa kenbersamaan
dan saling tolong menolong. Banyak orang yang mengatakan ogoh-ogoh sebagai
sumber permusuhan. Tetapi hal itu tidak benar. Sesungguhnya yang membuat
kerusuhan itu adalah segelintir oknumnya. Kehidupan masyarakat Hindhu di Bali
tidak dapat dipisahkan dengan seni. Maka sangatlah tepat kalu anak-anak sudah
di berikan pendidikan sejak dini. Dengan begitu, seni budaya Bali akan lebih
meningkat. Kalau sejak kecil seseorang sudah bias berkreativitas seni seperti
membuat ogoh-ogoh misalnya, setelah besar ia akan bias memberikan income bagi
dirinya dan masyarakat di selilingnya.
5. Nilai
Budaya
Nilai Budaya dalam
makalah ini adalah Hari raya Nyepi semarak dengan festifal ogoh-ogoh di Bali
membawa daya tarik budaya yang sungguh sayang jika dilewatkan. Maka dari itu
kita sebagai generasi muda harus mempertahankan budaya Bali. Jangan sampai
ogoh-ogoh yang merupakan salah sau budaya Bali tergilas kebudayaan barat.
6. Nilai
Moral
Nilai Moral dalam makalah ini adalah
Peristiwa Nyepi meletakkan dasar pendidikan moralitas agar dapat mengubah
perilaku manusia. Dengan kejernihan jiwa, pribadi-pribadi umat di harapkan
mampu membangun peradaban baru. Pada saat Nyepi umat hindhu mawas diri dan
membangkitkan kesadaran baru untuk memaknai hidup yang lebih baik. Moratorium
aktivitas selama sehari menciptakan keheningan yang memberikan kesempatan
panjang untuk melakukan introspeksi, mengevaluasi diri apakah perilaku
sepanjang tahun ini ada yang menyimpang dari sastra-sastra agama maupun tatanan
kehidupan social-kemasyarakatan lainnya. Hasil renunganitu di harapkan
memperbaiki kualitas hidup dengan menata perilaku kehidupan sehari-hari dengan
menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan, sesame manusia, dan lingkungan (Tri
Hita Karana). Banyak yang di petik dari suasana seperti ini: tepa selira,
penghematan, tetirah, kontemplasi, dan banyak hal yang bias dilakukan untuk
menghimpun energy positif kita. Yang jelas, Nyepi selalu memberikan kesadaran
baru dan semoga pemaknaannya menghadirkan spirit baru unuk kehidupan yang lebih
damai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ogoh-ogoh
merupakan salah satu ciri khas dari rangkaian pelaksanaan perayaan Tahun Baru
Caka yang kita kenal dengan Hari Raya Nyepi. Ogoh-ogoh umunya dibuat dengan
muka seram, mata besar melotot sebagai lambang/simbolis buta kala.
Ogoh-ogoh akan
diarak keliling desa pada malam pengerupukan, dimana tepat pada tengah hari
sebelumnya sudah dilaksanakan upacara pecaruan yang disebut tawur agung/tawur
kesanga yang bertujuan untuk membayar atau mengembalikan. Apa yang dibayar
dan dikembalikan? Adalah sari-sari alam yang telah dihisap atau digunakan
manusia. Sehingga terjadi keseimbangan maka sari-sari alam itu dikembalikan
dengan upacara Tawur/Pecaruan yang dipersembahkan kepada Bhuta sehingga tidak
menggangu manusia melainkan bisa hidup secara harmonis (buta somya). Setelah
diupacari dengan upacara buta yadnya pecaruan tersebut, buta kala yang
disimbolkan dengan Ogoh-ogoh ini kemudian diarak keliling desa disertai dengan
berbagai bunyi-bunyian seperti kentongan, bom khas bali yang disebut
plug-plugan, mercon, kembang api dan lainnya yang selanjutnya berakhir pada
kuburan setempat untuk dibakar yang secara secara simbolis buta kala ini agar
kembali ke alamnya masing masing dan tidak mengganggu manusia sehingga
kehidupan harmonis antara manusia dengan alam dan ciptaannya terwujud.
Ogoh-ogoh pada
umumnya dibuat untuk simbolis buta kala, seperti raksasa, leak, celuluk dengan
tampangnya yang seram, mata melotot besar, dengan taring yang panjang. Tetapi
kreativitas orang bali membuat tampang ogoh-ogoh dari tahun ke tahun semakin
beragam dan makin bagus tentunya.
3.2 Saran
Belakangan ini mulai terlihat berbagai tema ogoh-ogoh yang
mulai berubah akibat perkembangan zaman. Dulu ogoh-ogoh dibuat seram dan
bernuansa mistik dengan bhuta kala sebagai symbol unsur kejahatan dan
keburukan. Namun beberapa tahun belakangan ini bentuk ogoh-ogoh dibuat sebagai
bahan hiburan semata tanpa unsur filosofi. Diharapkan kesadaran masyarakat
khususnya para generasi muda untuk mengetahui makna ogoh-ogoh dan posisinya
dalam agama Hindu serta dapat mempertahankan budaya Bali. Jangan sampai
ogoh-ogoh yang merupakan salah satu budaya Bali tergilas kebudayaan dunia
barat.
DAFTAR PUSTAKA
TERIMAKASIH
BalasHapus